Sabtu, 21 Maret 2020

[Oregairu] Volume 14 Chapter 1 (Part 3)

 Chapter 1 - Meski begitu, keseharian Hikigaya Hachiman terus berlanjut. (Part 3)

Berbagai tipe suara penuh warna bergema sepulang sekolah: suara dentingan stik besi, teriakan yang meminta bola, dan warnanada dari band orkestra. Semakin jauh suaranya, maka akan terdengar semakin jelas.

Kami keluar meninggalkan gerbang sekolah, nyaris saja melewatkan puncak lalu lintas siswa yang pulang ke rumah. Tidak banyak dari mereka yang melintasi jalan bersamaan dengan kami. Jalan kecil yang mengarah ke daerah perumahan sekaligus taman terdekat nampak kosong, hanya gemerisik dedaunan akibat angin dingin sebelum sore hari yang dapat terlihat. Aku mendorong sepedaku melalui jalan kosong, melangkah kecil dari yang biasanya kulakukan untuk menyesuaikan kecepatan Yuigahama.

"Maaf karena membuatmu harus meluangkan waktu."

"Oh, tidak apa-apa," jawabnya dengan energik dan menggelengkan kepala. Aku menunduk berterima kasih sebagai gantinya. Usahaku untuk berbicara dengannya tadi agak tak sedap dipandang, tapi aku akhirnya bisa mengatur waktu untuk menyelesaikan segala hal saat ini juga.

Sekarang, apa yang harus kukatakan terlebih dahulu? Perlu waktu jika ingin membahas masalahnya. Berada di tempat sunyi seperti ini untuk berdiskusi adalah hal terbaik, tetapi bisa menganggu jika ada orang lain di sekitar, dan akan jadi sulit untuk membicarakan hal yang sesungguhnya. Jadi, mempertimbangkan hal itu, tempat seperti Saize atau kafe bukanlah pilihan. Hmm...

Merenung, Yuigahama terkesiap seolah tiba-tiba mengingat sesuatu dan berkata, "Oh iya, kudengar dari Yukinon kemarin. Prom-nya telah disetujui, kan?"

Pernyataan tiba-tibanya mengejutkanku, hingga aku hampir berhenti berjalan. Tetapi, kakiku tetap melangkah maju, dan aku membalas dengan niat mengubur keheningan, "I-Iya... dia bilang ke kamu?"

"Yup, tadi malam. Dia menghubungiku lewat LINE, kami ketemuan, dan kemudian bicara," Ucap Yuigahama sambil mempertahankan senyumnya, tatapannya perlahan meluncur ke bawah.

"Begitu..." Kataku, sambil tersenyum ironis. Mengingat hubungan mereka, tidak aneh jika dia bisa tahu. Yuigahama sendiri risau cemas apakah kami mampu mengadakan prom-nya atau tidak, jadi wajar saja jika dia berhubungan terkait hasilnya.

Namun, ketepatan Yukinoshita Yukino menyerupai bagaimana dirinya dulu. Di sisi lain, dia cepat dan tegas. Di sisi lain, dia terburu-buru menarik kesimpulan sendiri tanpa mempertimbangkan masalah, ekspektasi, atau pertimbangan orang lain. Rasanya jadi bernostalgia.

Mengingat kembali saat itu, Aku tidak begitu berbeda. Aku selalu tidak tegas. Setiap kali, Aku harus menambahkan alasan apapun untuk menyelesaikan sesuatu, sebagai buktinya adalah ketidakmampuanku untuk mengirim sebuah pesan singkat. Setelah sepanjang malam akhirnya Aku bisa berbicara dengannya secara langsung, dan berada di situasi ini. Tapi membuatku akhirnya dapat menarik keputusan.

"Bisa berhenti di sana?" Kataku, menunjuk ke arah taman.

"...Tentu," Jawab Yuigahama, sesaat mengerutkan keningnya. Kemudian dia mengangguk.

Jika aku tidak berbicara dengannya terkait keadaan kami saat ini, Aku yakin akan berakhir menundanya lagi di kemudian hari.

Aku membeli kopi kaleng dingin dan teh botol hangat dari mesin penjual otomatis terdekat, dan berjalan menuju taman. Aku memarkirkan sepedaku dekat bangku di bawah lampu jalan dan duduk di bangku. Aku menatap Yuigahama mempersilahkannya duduk di sebelahku, Yuigahama meremas tali pada ranselnya. Ekspresinya nampak tegang, tapi pipinya mengendur begitu dia berjalan dengan cepat ke arahku. Ketika kukira dia hendak duduk, dia malah hanya meletakkan ranselnya.

"Wow, sudah lama Aku nggak ke taman." Yuigahama melihat sekeliling taman seakan dia tidak pernah melihatnya. Pandangannya kemudian berhenti pada satu lokasi. Aku ikut melihat ke titik yang sedang dilihatnya, di sana terdapat ayunan, perangkat taman bermain yang bisa kau temukan dimanapun. Tidak ada yang spesial dari itu, tapi Yuigahama malah berlari mendekatinya.

"Um, apa? Halo?" Aku memanggil untuk menghentikannya, tapi dia sudah bermain-main dengan rantai ayunan. Tingkahnya membunuh antusiasmeku, akhirnya Aku menyusulnya.

"Whoa, ayunannya kecil banget. Apa memang selalu begini?" Yuigahama menyeru, malu-malu duduk di atas kursi ayunan. Begitu dia mempercepat gerak ayunan dengan kakinya, rantai makin berderak dan mulai saling beradu. "Oh astaga, wow! Sudah lama aku tidak main ayunan, ternyata jauh lebih mengerikan dari yang kukira."

Dengan panik dia menginjakkan kakinya di tanah, dan menghela nafas lega. Aku memanfaatkan kesempatan itu dengan memberinya sebotol teh.

"Kamu tidak terlalu mencemaskan hal itu ketika masih anak-anak. Aku terbiasa melompat dari ayunan dan selalu berakhir terluka di kakiku."

Yuigahama menerima botol teh pemberianku dan berterimakasih, kemudian meneguknya sedikit.

"Ohh, Aku juga melakukannya, tapi... Kurasa kau bukan tipe anak yang akan melakukan hal seperti itu, Hikki," ucapnya mengenggam rantai ayunan. Dia melihatku, menendang tanah dengan kakinya, pelan-pelan berayun ke depan dan belakang. Dia memberikan ekspresi menggoda dan melirik ke arah ayunan di sebelahnya, mendesakku untuk duduk. Tetapi, Aku memutuskan tidak memenuhi undangannya. Ketimbang itu, aku memilih duduk di pagar besi yang mengelilingi ayunan. Aku membuka tab kopi kaleng, dan meminumnya.

"Yuigahama," kataku, menelan rasa pahit yang tersisa di lidahku. "Beritahu aku apa keinginanmu."

Dia diam sejenak, gagal memahami maksudku, dan mengerutkan bibirnya dengan senyum bingung. "Apa maksudnya?"

"Biar kuulangi. Apa ada sesuatu yang kamu ingin aku lakukan, atau sesuatu yang kamu ingin aku kabulkan?" Aku bertanya.

"Ehh?" Dia menepukkan kedua tangannya, menempatkannya di antara pahanya, dan aku mulai berpikir begitu dia menggerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Kemudian dia langsung berkata. "Ada banyak, misal Aku ingin kau bersikap lebih natural kalau bicara denganku, atau Aku ingin kau berhenti mengintipku, atau Aku ingin kau cepat menjawab pesanmu, atau Aku ingin kau berhenti pilih-pilih, oh, dan, juga-"

"Oke, oke, maaf karena udah terlahir! Kalau begitu, Aku ini benar-benar berita buruk ya? Aku sungguh menjijikan..."

Yuigahama melipat jarinya satu persatu begitu dia menyebutkannya semuanya, dan Aku menghentikkannya lebih dulu sebelum dia menambahkan daftarnya. Jika dia menyebutkan sesuat ulagi, Aku akan benar-benar jatuh dalam depresi. Aku jadi jijik dengan diriku, dan Yuigahama memiringkan kepalanya dengan tatapan suram.

"Selama ini kamu baru sadar...?"

"Jauh lebih menyakitkan ketika mendengarnya dari orang lain. Maksudku, kau menyebutkan terlalu banyak, dan semuanya panjang, dan semuanya hanya mengkritikku, dan sekarang terasa sakit... Percaya atau tidak, Aku tidak ada niat memperbaikinya."

"Kupikir juga begitu, jadi lupakan saja..." Katanya mengundurkan diri dan mengangkat bahu.

Aww, dia menyerah padaku... Semua yang kau sebutkan adalah hal-hal yang aku sadari, dan Aku akan berusaha keras untuk memperbaikinya... Lalu, semua itu adalah hal yang takkan berubah begitu saja jika aku coba memperbaikinya secara bertahap, jadi Aku hanya ternseyum ironi.

"Oh, lalu, Kupikir sebaiknya kau memperbaiki kebiasaanmu merencanakan sesuatu mendadak seperti hari ini. Tidak masalah jika aku luang, tapi Aku juga ingin mempersiapkan diri, dan semacamnya."

"Ah, benar. Maaf."

Memang benar baru-baru ini aku hanya berbicara padanya dalam waktu singkat. Nampaknya dia sedang merencanakan kegiatan hari ini bareng Miura dan yang lain, jadi aku merasa bermasalah dan meminta maaf. Dia mengangguk menerima.

"Lalu..."

"Masih ada? Kau punya banyak, huh? Aku sungguh minta maaf untuk segalanya, oke?" Kataku. Yuigahama tertawa, dan aku mengikuti.

Aku membayangkan betapa mudahnya jika kami bisa terus berbicara seperti ini; menghindari membicarakan hal penting, berpura-pura semuanya normal, dan tidak pernah menyentuh masalah utamanya. Tapi membiarkan diriku tenggelam dalam kemewahan tersebut hanya akan mengkhianati apa yang kupercayai.

Aku menelan sisa kopi kaleng di tanganku, dan meremasnya untuk menjebak kehangatannya di ujung jariku. Kaleng aluminium bisa melekuk ke dalam jika terlalu ditekan, Aku memutar kalengnya di tanganku untuk memperbaikinya. Tetapi, itu hanya menyebabkan lekukan lainnya.

"...Bukan itu yang aku tanyakan," ucapku, suaraku terdengar lebih pelan dan lembut dibanding yang kukira. Aku mengangkat mataku dan menatap Yuigahama."

"Kalau begitu, apa?"

"Ini mengenai kontes sebelumnya. Dimana kamu bisa membuat seseorang melakukan apapun keinginanmu jika kamu menang."

"...Tapi itu belum selesai."

Nada suaranya terdengar merajuk, terdengar lebih tulus dari biasanya dan menyebabkan sudut mulutku melekuk naik. Bagi seseorang yang selalu mencoba menebak udara kedewasaan, saat ini dia kelihatan kekanakan. Mau tak mau aku merasa itu lucu.

"Yah... tapi aku sudah menerima kekalahanku. Kontesnya sudah selesai."

"Hanya kamu yang berpikir begitu."

Langit barat yang membentang jauh di belakangnya nampak semakin gelap, bintang yang muncul paling pertama dengan cepat mengerlip bersamaan dengan perubahan rasio dari campuran warna merah muda dan biru laut.

"Tidak, ini kekalahanku. Jujur saja rasanya agak melegakan melihat seberapa parah kekalahanku," Kataku sambil memandang ke arah langit, Aku sungguh-sungguh merasa lega. Persoalan apakah pesta prom bisa direalisasikan tiba-tiba menjadi topik pembicaraan kami. Yukinoshita langsung memahami bahwa proposal promku hanyalah omong kosong untuk mengangkat proposal miliknya, dan memutuskan untuk menerima persaingan kami sepenuhnya begitu mengetahui bahwa itu adalah rencanaku. Dengan kata lain, Aku salah membaca kartunya; Aku tidak salah membaca strategi Yukinoshita Yukino dan proses berpikirnya, tapi tekadnya.

Aku menghela nafas berat, melepaskan ketegangan dari seluruh tubuhku, helaan nafas tersebut menghilang di udara tipis tanpa meninggalkan banyak jejak akan uap udara.

Sebagai pecundang, bukan pemenang, sudah ditentukan, kontesnya pun selesai.

"Karena itulah, biar kukabulkan keinginanmu," Aku selesai menjelaskan, akhirnya dapat mengungkapkan kalimat yang selama ini bersarang di dadaku. Perlu banyak waktu hanya untuk mengucapkan kalimat tersebut. Dan itu sebatas pada situasi ini saja. Begitu kontes kami mulai, Aku terus-terusan merenungkannya; dari lubuk hatiku yang terdalam, ketika akhirnya aku bisa keluar dengannya, sesuatu yang kuhabiskan hampir setahun penuh.

Yuigahama menapakkan kakinya lagi di tanah untuk menghentikan ayunannya. Dia mengerutkan bibirnya, menunggu suara derakan rantai berhenti, dan kemudian berbisik, "Aku cukup rakus, jadi Aku tidak bisa memilih satu... Apa bisa? Apa semua keinginanku boleh dikabulkan?"

Dia mengangkat kepalanya, menatapku, dia tersenyum penuh keceriaan. Aku merespon dengan mengangkat bahu.

"Itu normal... yah, selama itu hal yang bisa kulakukan, akan kucoba."

"Kupikir kamu harus berhenti melakukan itu," dia berkata dengan tegas sambil memalingkan muka. Aku tersedak oleh kata-kata sendiri begitu melihat wajah sedihnya.

"Kamu selalu seperti ini, Hikki. Kamu benar-benar tidak bisa melakukan sesuatu, kemudian kamu berkata akan mencoba melakukan yang kamu bisa, dan kamu malah berakhir melakukannya. Dan kamu selalu memaksakan dirimu." ucapnya, menendang kembali untuk menggerakkan ayunannya. "Karena itulah, Kupikir akan meminta sesuatu yang sederhana. Aku tidak begitu yakin apa kuinginkan, tapi ada sesautu yang ingin kulakukan."

"Uh huh, apa itu?" Aku mengikuti gerakan ayunannya yang menjadi semakin cepat dengan mataku.

"Pertama, Aku ingin membantu Yukinon. Aku ingin melihat promnya hingga akhir."

"Begitu."

"Aku juga ingin merayakannya dengan... klub game? Dan si chuuni, dan juga Yumiko, dan Hina dan..."

"Benar juga..."

"Aku juga ingin merayakan untuk Komachi-chan."

"Iya sih."

"Dan Aku juga ingin jalan-jalan bersama ke suatu tempat."

"Masuk akal."

Dia akan mendekat, dan kemudian menjauh. Setiap kali, kalimatnya terdengar olehku, dan Aku akan merespon dengan lembut. Hal-hal yang Yuigahama ingin lakukan bukan sesuatu yang mengejutkan. Aku mengerti mengapa dia ingin membantu penyelenggaraan prom.  Aku juga ingat ucapannya sebelum ini terkait mengadakan acara. Dan itu acara perayaan kelulusan Komachi, Aku hanya bisa berterimakasih. Aku kurang tahu soal jalan-jalan untuk bersenang-senang, tapi jika dia tidak masalah denganku, maka Aku dengan senang hati akan menemaninya.

Kekuatan dari ayunan perlahan melemah, dan kemudian dia terdiam.

"Dan juga..." Dia membisik dan kemudian terhenti.

Terdengar suara riuh yang berasal dari jalan terdekat di balik pagar taman. Saat kulihat, terdapat sekelompok remaja laki-laki dan perempuan yang lewat mengenakan seragam sekolah kami. Dilihat sekilas, mereka bukan orang-orang yang kami kenal. Yuigahama hanya terdiam hingga mereka pergi. Yang tersisa hanyalah suara rantai sekarat karena ayunan yang sepenuhnya telah terhenti.

Aku tidak berkata apapun, hanya melihat ke arahnya, menantikan kalimat selanjutnya. Dia nampak menyadarinya, dan mengangkat wajahnya ke arahku dengan senyuman.

"Dan juga, Kupikir... Aku ingin mengabulkan keinginanmu, Hikki," dia tersenyum begitu sinar matahari terbenam menyinari dirinya dari belakang. Di dalam kegelapan yang diwarnai warna biru laut, cahaya terangkai dari sisa-sisa cahaya matahari di langit dan cahaya lampu jalan dengan indahnya menyinari wajah rampingnya.

Aku tidak mampu memberinya respon yang benar. Sejak awal alasan aku berada di sini adalah karena ingin mengabulkan keinginan Yukinoshita Yukino. Keinginannya adalah untuk mengabulkan keinginan Yuigahama. Tapi dia berkata inign mengabulkan keinginanku. Kalau seperti ini, kami hanya terjebak dalam perputaran tanpa akhir.

"Keinginanku, huh? Itu agak susah..." Aku menjawab tanpa arti, aku merenung harus merespon bagaimana.

"Ya kan? Jadi luangkan waktu untuk memikirkannya sembari mengabulkan keinginanku. Dan aku juga akan memikirkannya," ucap Yuigahama, dengan kuat menendang tanah dan berdiri. Mengambil satu langkah menjauhi ayunan dengan limbung, membuat ayunannya bergetar, dan berbalik ke arahku sehingga menghalangi sinar matahari terbenam.

"...Dan Aku pasti akan memberitahumu. Karena itu, beritahu aku apa yang ingin kamu lakukan, Hikki."

Aku menyipitkan mata begitu merahnya terbakarnya matahari terbenam menembus mataku. Dengan pandanganku yang kabur akibat sumber cahaya di depan, Aku mengangguk. Setelah dia memastikan responku, Aku dapat melihat senyumannya yang indah.
 

...berlanjut ke Prelude 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar