Jumat, 20 Maret 2020

Every Hachiman x Yukino Moment on LN Vol. 14


1. Pertemuan pertama setelah hari itu (Chapter 8 part 1)

Konteks: Keesokan harinya setelah Hachiman mengungkapkan perasaannya ke Yukino, setelah kelas selesai dia pun menuju ruang klub Service Club dengan perasaan gugup mengingat kejadian kemarin.

Aku berjalan agak lambat sambil memikirkan ekspresi seperti apa yang harus kubuat ketika bertemu dengannya.
Meskipun sengaja melambatkan langkah, pada akhirnya aku tiba juga di depan ruang klub ini. Belum terlalu lama sejak terakhir kali aku berada di sini, tapi rasanya sudah berlalu cukup lama, bahkan mungkin selama sepanjang tahun, sejak aku menatap pintu ruangan ini.

Berdiri di depan pintu, Aku menarik nafas panjang untuk meningkatkan kepercayaan diriku, Aku berulang-ulang mengepalkan tanganku sebelum meraih gagang pintu. Ujung jariku selalu terasa dingin semenjak hari itu, tapi sekarang sudah jauh lebih terasa hangat. Aku meletakkan jariku di gagang pintu dan menariknya dengan sekuat tenaga untuk membukanya, atau setidaknya, kukira aku melakukannya. Pintunya berderak keras tapi sama sekali tidak terbuka. Aku mencobanya lagi, tapi hasilnya sama saja. Aku menghela nafas dan mencoba lagi, tapi tetap tidak terbuka.

"Cih, terkunci ya..." Aku mengecapkan lidahku dan terduduk di lantai dengan punggungku bersandar di pintu. Setelah meneguk sisa kopiku, Aku mendapati ada sosok mendekat dari arah koridor.

"Oh, kau datang cepat."

Melihatku, Yukinoshita tetap berjalan dengan tempo santai. Dari dulu, dia selalu tiba duluan daripada aku. Dia selalu menjadi yang pertama kali datang, jadi langka sekali baginya untuk terlambat seperti ini. Mengejutkannya, kurasa bahkan dia pasti merasa canggung dan malu, membuat sulit baginya untuk bersikap biasa saja.

"Maaf, apa kamu menunggu lama?"

"Tidak ... aku baru saja datang."

Aku tahu percakapan kami terdengar konyol, Aku memberikannya respon standar. Dia membalas dengan senyum geli.

"Bisa bukakan pintunya untukku?"

Dia menatapku dan melemparkan kunci, dan aku pastikan menangkapnya dengan tanganku. Ini pertama kalinya bagiku memegang kunci ini, bahannya dari logam tentu saja. Tetapi, dia telah menyimpan kunci kecil ini dengan hangatnya di tangannya selama ini, dan Aku bisa merasakan sisa kehangatannya di telapak tanganku.

2. Survey lokasi, kencan (?), selfie berdua, dan pernikahan?!


Konteks: Setelah meeting pertama mereka di ruang klub, Hachiman dan Yukino memutuskan untuk melakukan survey di taman tepi laut sebagai calon lokasi penyelenggaraan prom night keesokan harinya yang kebetulan adalah akhir pekan. Setelah berjalan-jalan sambil berbincang-bincang mengenai karir mereka selanjutnya, keduanya memutuskan untuk singgah di sebuah kafe pinggir laut.

Yukinoshita menunjuk sebuah kafe dan mencondongkan kepalanya, tanpa berbicara dia bertanya apa aku ingin singgah di kafe tersebut. Aku menunduk sebagai tanda setuju. Sebelum berjalan ke arah kasir, dia melirik ke arahku. "Apa kamu bisa carikan kita tempat?"

"Baiklah."

Aku mengambil tempat duduk sofa yang paling dekat dengan lautan yang terkena hembusan angin sepoi-sepoi menyegarkan. Tanpa sadar aku mengamati seluruh isi kafe sembari menunggu Yukinoshita. Daftar menunya agak berani dalam penyajiannya sehingga memberikan kesan anggun untuk kafe ini. Terdapat daftar pilihan berbagai minuman kekinian seperti: boba drink dengan cita rasa bervariasi termasuk milk tea standar, teh rooibos tanpa kafein, beserta smoothies buah dan sayuran.

Hei, hei, hei, ini bercanda kan, ini Chiba, loh? Siapa yang menyuruh kalian bersikap anggun di sini...? Chiba akan segera menjadi kota pelopor hal kekinian kalau terus begini,

Saat aku sedang meratapi tren di Chiba, Yukinoshita datang dengan sebuah nampan dan duduk di sofa sebelahku.

"Ini untukmu, untuk ganti yang tadi." Dia memberikan sebuah boba milk tea, sepertinya sebagai ganti MAX Coffee yang kuberikan padanya tadi.

"Um, ini lebih mahal... Apa kau payah dalam matematika?"

"Jauh lebih baik darimu. Kamu bisa membalasnya dengan sesuatu yang lain, lain kali," dia berkata dengan mood optimis dan mulai meminum milk tea miliknya.

Huh, kurasa bahkan dirinya pun menyukai minuman kecewekan seperti ini. Pikiran tersebut terlintas di pikiranku, tapi kemudian aku mengingat mengenai kesukaannya terhadap hal imut seperti Nyanko dan Pan-san. Yah, sulit mengatakan apakah boba milk tea termasuk hal imut atau tidak. Bagaimanapun juga, ini adalah minuman yang jarang aku nikmati. Untuk merayakan momen ini, Aku putuskan untuk mengambil foto, bertingkah seperti saat aku menerima semangkuk ramen. Ini yang orang-orang sering sebut sebagai instagenik, huh?

"Ah..."

Yukinoshita terdengar seperti baru menyadari sesuatu, dan Aku menengoknya mengecek apa yang salah. Melihatnya, dia tercengang menatap ke arah minumannya, dan kekecewaan yang tergambar di wajahnya seolah berkata, "Harusnya difoto dulu..."

"Um, Aku belum meminum punyaku, jadi kau boleh foto (punya)ku, tidak apa-apa..." Merasa tidak enak, Aku mendesaknya dengan anjuran yang baik. Aku menggeser gelas minumanku ke arahnya dan dia mengeluarkan smartphone-nya.

"B-Benarkah? Makasih..."

Dia merapikan poninya, dan berdiri sedikit, kemudian bergeser di atas sofa mendekat tepat di sebelahku dan tanpa alasan menyilangkan lengan miliknya dengan lenganku. Kemudian, kamera depan ponselnya pun mengeluarkan bunyi shutter dua kali.

Serangan yang super tidak terduga darinya membuatku terdiam total. Dia tersenyum malu-malu begitu mengecek hasil fotonya, berbisik dengan suara luar biasa pelan, "Ini bagaimana...?" dan menunjukkan layar ponselnya padaku. Meskipun foto yang belum teredit tersebut memperlihatkan kami yang saling menyilangkan lengan, adanya jarak aneh di antara kami menjelaskan betapa kami terlihat canggung.

Aku menghela nafas berat begitu melihat fotonya. Seriusan...? Cewek ini melakukan hal di luar imajinasiku. Hatiku tidak kuat...

"Jangan, itu jelek..." Kataku sambil mengipasi wajah dan pikiranku masih setengah ngeblank.

Mendengarnya, dia jadi kebingungan dan berusaha untuk memperbaiki situasi. "M-maaf, um..."

"Foto ulang. Mataku terlihat terlalu suram di foto ini, gila aja," Ucapku, aku mengeluarkan smartphone punyaku. Ketika aku memposisikannya, dia menatap heran, tapi kemudian segera merapikan poninya lagi dan lagi, dan kemudian mengatur ulang posisi duduknya. Setelah lebih mendekat, dia merentangkan lengannya untuk memberanikan dirinya.

"A-Aku siap..."

Um, kau tidak perlu merentangkan tangan seperti itu. Kau hanya membuatku ikutan gugup saja. Hentikan, Aku berpikir sembari mengulurkan lenganku seperti tadi, tapi kali ini aku mendekatkannya ke dia hingga hanya tersisa beberapa sentimeter.

"Aku foto ya."

"O-Oke..."

Suaranya bergetar kontras dengan postur duduknya yang tegap. Aku tahu dia merasa tegang karena bahu kami saling bersentuhan, dan bahkan lengannya kelihatan bergetar. Tapi, yah, lenganku sendiri juga bergetar hebat. Sudah yakin dengan stabilisasi kameraku, Aku mengambil foto dan kutunjukkan padanya. dia dengan malu-malu melihat, tapi kemudian tertawa.

"Matamu sama sekali tidak berubah. Masih suram seperti biasa."

"Bukan masalah besar, Aku bisa memperbaikinya dengan sedikit editing, Kekuatan sains yang mahakuasa."

Aku langsung mengunduh aplikasi editing foto dan mulai mengutak-atik fotonya. Dia menatapku dengan penuh ketertarikan sambil mengungkapkan keterkejutannya. Yah, kalau wajahnya sih tidak ada yang perlu diedit, jadi...

Setelah berbasa-basi cukup lama seperti itu untuk menghabiskan waktu, kami akhirnya menghabiskan milk tea kami. Sebelum menyadarinya, laut dan langit telah berwarna merah padam, dan matahari bulat yang menyala dengan warna tungku perapian perlahan terbenam. Mungkin ini pertama kalinya Aku melihat matahari terbenam dari dekat. Baik Yukinoshita dan Aku menatap momen ini dalam keheningan.

Di saat itu juga, dentang lonceng sebuah kapel terdengar akibat terbawa oleh hembusan angin. Kami melirik ke arah sumber suara dan asalnya ternyata lebih dekat dari yang kami kira.

"Ayo lihat ke sana."

Dia berdiri dan berjalan ke arah sumber suara di atas jalan setapak pinggir laut. Saat kami mendekat, di tempat itu terdapat sekelompok orang dengan pakaian bersih dan bergaya. Mereka sedang mengambil foto pasangan pria dan wanita berpakaian tuksedo putih dan gaun pengantin dengan latar belakang sore hari pantai pada saat golden hour.

Itu adalah upacara pernikahan sesuai dengan apa yang kami lihat dari kejauhan.

Terletak di sebelah restoran adalah bangunan lain yang mirip sebuah kapel, dan sebelahnya terdapat bangunan lain lagi, yang nampaknya sebuah aula acara untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan dan hal-hal lainnya.

Pamfletnya tersedia di dekat pintu masuk pada sudut ruangan. Setelah melihat-lihat, bangunannya nampak digunakan sebagai aula acara yang disebut gedung perjamuan. Lantai kedua mempunyai dua ruang acara dengan tata letak berbeda, dan lantai pertama berisi sebuah lounge dengan interior dari kayu. Lebih dalam di lounge-nya ada sebuah teras yang menghadap laut. Saat mengintip terasnya, sebuah tungku perapian diletakkan di tengah dan api hangatnya menerangi sekitarnya.

Hmm... mereka punya yang seperti ini di sini, huh? Aku sama sekali tidak tahu karena resepsi pernikahan adalah hal asing bagiku, pikirku. Aku bercermin pada ketidak pengalamanku mengenai Chiba melalui pamflet di genggamanku. Kemudian, Aku merasakan tarikan di tangan satuku.

"Kenapa?"

"Tempat ini sempurna. Ayo kita adakan di sini." Mata Yukinoshita berbinar sembari menarik lengan bajuku berulang-ulang. Ekspresinya bercampur dengan inspirasi dan kegembiraan, tapi intensitas kegembiraannya hanya membuatku semakin sulit bertanya apa yang sebenarnya harus kami adakan di sini.

Jika aku bertanya, instingku berkata saat itu pula akan menjadi sekakmat bagiku... Maksudku, ini kan aula pernikahan.

"Um... tidakkah kau pikir ini terlalu cepat?" Aku memilih kalimatku dengan hati-hati.

Dia terlihat kebingungan sambil memiringkan kepalanya. Begitu memahami maksudku, dia melepaskan lengan bajuku dan menyentuh pelipisnya. Kemudian, dia menghembuskan helaan nafas takjub. "Kau sudah punya tatapan buruk di matamu dan kepribadian yang buruk, tapi dibandingkan semua itu jika kau juga buruk dalam menebak situasi, apa lagi yang kamu miliki? Lihatlah lebih dekat." Dia menunjuk ke berbagai tempat di pamflet satu demi satu. "Aula acara ini menyediakan fasilitas lengkap dan memiliki pemandangan laut dan api unggun."

"Oh... Benar, maksudmu prom ya."

Demi Tuhan, memalukan sekali! Bodoh! Hachiman, kau idiot! Kau sampah! Saat kukira aku cukup tenang, tapi nyatanya aku malah terlalu bersemangat, huh? Apa sekarang waktunya? Apa aku boleh mati sekarang juga?

Kepalaku langsung agak mendingin seolah telah dipercikkan dengan air dingin, dan Aku bisa berpikir secara rasional lagi. Dari hasil tinjauan, fasilitasnya pas dengan segala kebohongan palsu dalam proposal kami dan membuatnya bisa dieksekusi di kenyataan, membuatnya jadi tempat yang ideal.

"Benar, jika kita ingin mengadakan prom, tempatnya harus di sini."

"Setuju, tempat ini yang paling serupa denga syarat yang akan kita butuhkan." Dia tersenyum penuh kemenangan, meluap dengan kepercayaan diri.

Tidak buruk melihat sisi tak terduga darinya, tapi ekspresi familier yang baru saja dia buat tidak perlu diragukan lagi adalah ekspresi terbaiknya.

3. "Sebenarnya apa hubungan kalian berdua?" (Chapter 8 part 5)
Konteks: Pokoknya lagi rapat persiapan prom night di sekolah, Yukinoshita dan Hachiman lagi bahas soal prom sambil basa-basi dan di dekat mereka ada si Iroha juga.
Aku bersandar di kursiku sambil menyaksikan mereka berdua (Orimoto dan Tamanawa) pergi dan menghela nafas penuh kelelahan "Kurang lebih biayanya sudah dapat diperhitungkan yah."

"Jika hanya sumbangannya berjalan baik... kita harus apa jika masih kekurangan?" Yukinoshita bertanya.

Isshiki membuat renungan berlebihan. "Yah, jika kita hanya dapat sedikit, maksudku, sangat sedikit, mungkin OSIS bisa, mungkin saja ya, membantu sedikit biayanya jika kita benar-benar perlu..."

"Kurasa aku tidak pernah mendengar kalimat yang sangat tidak menyakinkan dibandingkan ucapanmu... Lagipula, semuanya tergantung seberapa banyak, tapi jika skenario terburuk terjadi, Aku bisa menutupinya dengan uang pribadiku," Ucapku, dengan cemberut.

Mata Yukinoshita melebar karena terkejut. "Meski kamu tidak punya tabungan?"

"Aku mungkin tidak punya, tapi orang tuaku punya. Aku akan mendapatkan pinjaman berbunga dari mereka dan tidak membayarnya. Aku banyak akal."

"Aku tidak yakin kau bisa menyebutnya banyak akal..." Yukinoshita tersenyum takjub, dan Aku mengangkat bahu.

Sejujurnya, tidak masalah jika kami merugi. Aku hanya bisa membayangkan masalah menjengkelkan jika kami berhasil mendapatkan profit. Pada akhirnya, ini adalah acara yang diselenggarakan oleh anak SMA, jadi harusnya merupakan acara non-profit. Aku tidak akan mau bea cukai mendatangi kami karena memiliki aliran pemasukan yang tidak disengaja, pada akhirnya... Jalan pikiran toratanu memenuhi kepalaku.

Yukinoshita mulai memainkan kalkulatornya. "Aku akan merasa bersalah jika membuatmu terbebani dengan hutang di usia muda, jadi Aku akan mencoba memotong pengeluarannya."

"Tapi jangan mengurangi gajiku, oke?"

"Jangan cemas, gajimu nol sejak awal, jadi tak ada yang perlu dikurangi."

"Sungguh tempat kerja yang nyaman..."

Yah, sejak awal Aku tahu bahwa tidak ada gaji, jadi tidak apa-apa... Kami akhirnya terlibat dalam pembicaraan biasa kami setelah sekian lama, dan Isshiki nampak gusar menghela nafasnya.

"Kalian berdua memang dekat..." Dia melirik sekeliling ruangan dan berdehem. Kemudian dia lanjut berbicara dengan suara pelan. "... tapi aku cuma mau nanya misalnya saja. Hubungan seperti apa yang kalian berdua miliki?"

Ditanyai seperti itu, Yukinoshita dan Aku langsung membeku. Yah, benar, Aku tahu suatu hari kami akan menerima pertanyaan seperti ini. Dari sudut pandangnya, Yukinoshita dan Aku terlibat dalam perselisihan beberapa hari yang lalu. Masuk akal jika dia tidak mengerti ketika kami tiba-tiba memberitahunya bahwa kami akan menyelenggarakan sebuah acara bersama-sama.

Dia mendesak kami meminta jawaban dengan tatapan bertemperatur lemahnya.

Kami perlu mengatakan sesuatu atau apapun itu... Aku melirik Yukinoshita dan dia balik memandangku. Nampak jelas di kedua mata kami bahwa kami kehabisan kata-kata.

"A-Apa sebenarnya, itu sih..."

Ketika aku mengeluarkan gumaman tak berarti untuk mengisi keheningan, tatapan Isshiki semakin menajam. Aku mengalihkan mataku, dan Yukinoshita terengah-engah, mencoba mencari tahu apa yang harus dikatakan.

"I-Ini sulit untuk dijelaskan, tapi..." Pipinya memerah dan dia menundukkan pandangannya. Kemudian dia melanjutkan. "Kurasa kami ini semacam... p-partner?"

"Nah itu! Yah, kalau kamu terus terang bertanya seperti itu, Aku tidak begitu yakin bagaimana harus menjawab, tapi hubungan kami sesuatu semacam itu."

"I-Itu benar. Aku juga tidak sepenuhnya yakin, tapi aku yakin hubungan kami sesuatu semacam itu."

Aku menguatkan kalimat Yukinoshita, dan dia kemudian menganggukkan kepalanya dengan frekuensi tinggi. Isshiki masih diam dan menatap kami dengan dingin. Tidak lama, dia menghela nafas lelah.

"Huh, begitu. Yah, jika itu cukup bagi kalian berdua, ya sudah." Dia menyeringai. "Tapi kupikir sebaiknya kalian segera membuatnya jelas."

Nb.
  • toratanu adalah blogger financial manager 

4. Aku akan mengulurkan tangan padanya mulai dari sekarang (Chapter 8 part 8)

Konteks: Hachiman dkk. masih melanjutkan persiapan untuk prom night-nya, pada sesi istirahat Hachiman menyadari kalau Yukino terlihat sangat kelelahan, jadi Hachiman menyarankan sebelum mereka semua pergi makan siang sebaiknya singgah di sauna dekat sekolah untuk berendam dulu biar lebih rileks. Hachiman jadi yang terakhir keluar dari sauna laki-laki dan bertemu dengan Yui, Iroha, dan Yukino di depan sauna.

Sambil berjalan aku menempelkan kaleng dingin MAX Coffee yang baru saja kubeli di dahi dan leherku. Angin musim semi yang berhembus terasa segar bagi kulit hangatku, dan Aku menyipitkan mataku dari silaunya langit barat.

"Hikki."

Aku berbalik ke arah sumber suara, dan ada Yuigahama yang duduk di bangku memberi isyarat padaku dengan tangannya. Yukinoshita duduk di sebelahnya dengan pipi yang sedikit memerah. Rambutnya jadi sedikit longgar dibandingkan rambutnya yang disanggul pada saat rapat tadi, dia menghembuskan nafas penuh rasa puas. Mengintip di balik bahunya, di sebelahnya ada Isshiki yang memberiku tatapan penuh kritik.

"Senpai, kau lama."

"Atau kalian bertiga aja yang terlalu cepat?" Aku membalas dan berjalan ke bangku, sangat yakin bahwa akulah yang keluar paling akhir. "Dimana yang lain?"

Aku tidak menemukan yang lain, dan Yukinoshita menjawab. "Mereka sudah pergi makan."

"Begitu."

Tidak ada lagi yang berbicara. Terlepas dari itu, tidak ada tanda-tanda dari kami untuk segera bergerak menuju Surprised Donkey dimana yang lainnya akan makan malam.

Yukinoshita, Yuigahama, dan Isshiki tetap duduk di bangku. Aku menemani mereka, mengocok MAX Coffee-ku dan membuka tabnya. Kemudian aku menyandarkan punggung di tembok sebelah bangku dan meneguk kopiku. Tentu saja, semuanya mempertahankan keheningan ini dan saat-saat tenang serta tentram ini pun berlanjut.  Kami berempat hanya menikmati angin sepoi-sepoi sore hari yang sejuk setelah berendam dan menyaksikan matahari terbenam.

Kami semua di sini bersama, tapi tak ada percakapan di antara kami. Dalam situasi normal, saat ini akan menjadi periode yang canggung dimana tak ada hal yang bisa dilakukan. Tidak aneh jika kami malah akan mengutak-atik ponsel sebagai bentuk pengalihan. Tapi kami semua anehnya tetap diam, hanya memanjakan diri dalam ketenangan.

Atmosfernya cukup mirip dengan situasi di ruang klub sepulang sekolah pada hari-hari biasanya. Aku tak dapat mendeskripsikannya dengan kalimat, itu adalah tempat dimana aku bisa tinggali selamanya tanpa pernah merasa bosan.

Isshiki bersenandung lagu dansa prom dan mengayunkan kakinya bersamaan mengikuti ritme, roknya berkibas ke arah belakang dan depan. Senandungnya yang berselang-seling berubah menjadi lullaby yang mengundang perasaan nostalgia karena matahari yang terbenam.

Berkat itu, Yukinoshita mulai terkantuk. Kenyamanan tambahan setelah keluar dari sauna menyebabkannya menguap kecil, dan dia menyandarkan kepalanya pada pundak Yuigahama. Yuigahama mendekatkan bahunya untuk menghindari hilangnya kehangatan dari sentuhan mereka.

Aku menarik pundakku dari hembusan angin tiba-tiba yang berhembus melintasi berbagai musim. Aku melirik ke arah bangku sekilas, bertanya-tanya apakah itu hanya rasa sejuk setelah berendam, tapi toh tidak ada celah yang dapat dilalui angin.

Tempat ini masih hangat dan cerah. Tempat cerah yang nyaman begitu mirip dengan tempat tersebut-- ruangan tersebut, sembari kami menyaksikan matahari terbenam di balik cakrawala laut dan menyinari permukaan air.

Alasan Aku-- kami ingin tetap berada di tempat hangat itu selamanya mungkin karena kami tahu bahwa sore ini pasti akan berakhir, dan bahwa saat ini tidak akan pernah datang lagi. Tetapi, waktu bagi kami untuk berpisah telah tiba.

Bohong jika kukatakan aku tidak enggan. Bukannya aku tidak memiliki satupun penyesalan. Masih ada hal yang sedang kupikirkan.

Tapi aku tidak punya pilihan untuk menerimanya; Aku menyukai saat itu dan tempat itu, saking sukanya hingga membuatku berpikir seperti ini. Jika aku tidak menerimanya, rasanya aku takkan bisa menjadi bagian dari itu.

Terlalu terang dan menyilaukan hingga meninggalkan luka yang membara. Itu akan meninggalkan luka dan menjadi bekas yang tidak bisa kulupakan. Suatu hari aku akan meratapi hal tersebut begitu aku melihat bekas luka itu. Sebelum afterglow ini menghilang, Aku melangkah maju untuk meninggalkan tempat nyaman tersebut.

"Sudah siap pergi?" Ucapku, berbalik ke arah mereka.

Yukinoshita yang sudah setengah tertidur membuka matanya. "Tentu..."

Jawabannya singkat sembari dia meluruskan tubuhnya yang tadi bersandar pada Yuigahama. Setelah berterima kasih pada Yuigahama dengan suara pelan, dia merapikan kerahnya yang kusut.

Isshiki dengan kedua kakinya bersamaan melompat tanpa aba-aba. Dia memutar tumitnya hingga terdengar suara pantofelnya yang bergesekan dengan pasir.

"Yep... ayo pergi." Isshiki tersenyum lembut dan menatap Yuigahama.

Punggung kami terselimuti cahaya matahari tenggelam dan Yuigahama memandang kami berdua. Dia menutup matanya dan mengangguk beberapa kali. Kemudian berbisik, "Oke, kita harus segera pergi..."

Tanpa ragu dia berdiri dari bangku dan menggunakan momentumnya untuk berjalan maju tanpa berbalik lagi. Dia mengejar Isshiki untuk berjalan bersamanya dan meninggalkan tempat ini.

Yukinoshita masih duduk di bangku setelah memperbaiki penampilannya. Aku menatapnya yang seolah berkata bahwa kita harus segera menyusul yang lainnya. Dia mengangguk balik dan berusaha berdiri.

Sebelum itu, tanpa sepatah kata pun aku menawarinya tanganku.

Dia memiringkan kepalanya sedikit, tidak yakin maksud dari gesturku, tapi dia langsung tersenyum tipis.

"Aku bisa berdiri sendiri..."

"Aku tahu."

Aku tahu dia bisa berdiri sendiri, dan Aku tahu dia akan berkata seperti itu. Tapi meski begitu, Aku menawarinya tanganku. Dan Aku mungkin akan terus melakukannya mulai dari sekarang.

Momen-momen sebelum menghilang, cahaya malam bersinar makin kuat dan memperdalam bayangannya sembari membentangkan bayangan lebih jauh. Baik bayangannya dan bayanganku menjadi satu, dan tidak ada lagi yang dapat membedakan bayangan kami.

Dalam dunia yang terselimuti oleh warna merah terang, yang mewarnai wajahku, pipinya, dan segalanya yang berada di rona tersebut, dia meraih tanganku dengan senyuman.

Nb. 
  • Afterglow dapat berarti dua hal : cahaya sisa-sisa matahari yang udah tenggelam dan perasaan senang.

5. Aku menyukaimu (Chapter 9 part 3)

Konteks: Prom night udah selesai, kemudian bertemu dengan Hiratsuka-sensei dan mengucapkan perpisahan, Hachiman langsung menemui Yukino di teras kayu.

Setelah meninggalkan lantai dansa, Aku langsung menuju teras kayu. Gelapnya malam mulai menyelimuti dunia luar, bahkan pemandangan laut pun hanya terlihat kedap-kedip dari cahaya kapal pada cakrawala nun jauh. Terlepas dari visibilitas buruknya lautan, pemandangan malam hari dari wilayah sisi laut Tokyo bersama dengan pesisir pantai di sebelah kanan dan pemandangan malam hari dari wilayah industrial antara Tokyo dan Chiba di sebelah kiri masih nampak sangat indah.

Aku melihat sekeliling mencari Yukinoshita dan menemukannya sedang mengatur dokumen dekat perapian di tengah teras kayu. Hanya itu satu-satunya tempat yang nampak hangat karena berselimut cahaya perapian, angin terasa sejuk. Api unggun dengan bentuk sebuah payung menyala pada perapian. Setiap percikan api menyinari wajah kecil dan putih Yukinoshita sekaligus makin memperkuat keberadaan ajaibnya lebih dari biasanya.

Aku suka jika harus melihatnya seperti itu selamanya, tapi suara letusan dari kayu bakar membuatnya mengangkat wajahnya. Begitu dia menyadari keberadaanku, pipinya yang disinari mengendur dan membentuk senyum di bibirnya.

"Oh, Hikigaya-kun, hai."

"Hei. Maaf lama.," Kataku, aku mendekatinya. Dari sana, dia mengangkat tangannya untuk menghentikanku.

"Tunggu, pertama, apa kau sudah mengecek kakimu."

"Huh? Kakiku..."

Satu-satunya yang bisa kulihat hanyalah tikar yang tertutupi pasir dan tak ada lagi... Umm, apa ini semacam teka-teki?

Ketika aku kebingungan, dia menghela nafas. Dia mengetuk dokumen di atas meja untuk menyatukannya dan membawanya padaku. Kemudian, dia menjepit roknya dan berjongkok untuk menggeser jarinya di lantai. Dia berdiri dan memperlihatkan jarinya.

"Lihat. Seberapa banyak pasir  di sini?"

"Uh-huh..."

Oke... Aku hanya bisa memberinya persetujuan. Apa? Apa ini semacam latihan menghadap ibu mertua atau semacamnya? Dia menggunakan tisu basah untuk mengelap jarinya dan menyentuh pelipisnya.

"Ingat aku bilang apa? Agar jangan sampai ada pasir dalam aula? Dan untuk menukar tikar lantai?"

"Ohh..."

Dia memang bilang. Tentu saja, Aku terlalu sibuk. Daripada merespon balik, Aku membuat ekspresi tidak puas.

Apa dia memanggilku kemari hanya untuk diceramahi? Keberadaan ajaibnya barusan langsung menghilang layaknya angin dan hanya meninggalkan kenyataan di hadapanku. Yukinoshita yang rapuh secara alami juga memiliki sifat keibuan dan lebih tegas dari seorang ibu mertua. Dia menyandarkan tangannya pada pinggangnya dan menegurku dengan sikap tenang.

"Karena sudah tahu, tolong bersihkan itu sebelum kita pulang."

"Oke..."

Aku mengangguk. Aku berbalik dan sebelum sempat mencari sapu, dia menyela, terdengar seperti masih ada hal yang ingin dikatakannya. Aku menengok ke belakang, dengan enggan bertanya-tanya apa masih ada hal lagi yang perlu dilakukan, dan tangannya terlihat sedang menyentuh dagunya.

"Sekalian bisa tolong cek ruang tunggu? Cuma barang-barang kita yang harusnya ada di sana, tapi Aku hanya ingin memastikan. Aku harus menyelesaikan pembayaran untuk pesanan tambahan yang kita buat dan mengembalikan kuncinya. Terima kasih.

"B-Baiklah... Aku dapat kerjaan tambahan... Oke, baik, mengerti."

Begitu pekerjaan ini selesai, Aku akhirnya akan terbebas, dan itu artinya kami akhirnya dapat berkemas dan pulang. Prom gabungan yang secara bersamaan terasa lama dan singkat akan segera berakhir. Pemandangan malam dipasangkan dengan hembusan angin malam yang membelai pipiku meninggalkan perasaan cukup mendalam.

Pada saat itu, Yukinoshita menyentuh bibirnya dan sekali lagi menambahkan. "Lalu... apa kamu keberatan bertemu di depan pintu masuk setelah selesai? Jika kamu bisa mengecek tempat parkir, itu akan membantu. Jika masih ada orang tolong diberitahu."

"Aku mengerti." Ucapku, firasat tidak menyenangkan mulai merayapiku. Apakah ini salah satu cara untuk melimpahi pekerjaan lebih padaku? Aku merinding memikirkannya, tapi mengejutkannya, dia berbicara lagi dengan suara pelan seolah ada sesuatu yang terlintas di pikirannya.

"Dan..."

"Masih ada lagi? Bisa kita berhenti? Bukankah sudah cukup bagus?" Ucapku dengan kesal.

Kemudian, dia berjalan selangkah mendekatiku. "Tidak, kali ini Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu."

Setelah menjelaskan maksudnya, dia memutuskan kontak mata kami dan berdehem. Dia bicara terlalu banyak barusan, tapi sekarang dia menggigit bibirnya. Ketika kukira dia ingin mengatakan sesuatu, dia malah menarik nafas panjang sambil menindih dokumen di tangannya dan menekannya ke dadanya.

Setelah mengangkat pandangannya, dia menatap lurus ke arahku dengan matanya yang cantik, dia mengucapkan kalimatnya dengan suara tenang tapi tegas.

"Hikigaya-kun, Aku menyukaimu."

Aku membeku di tempat karena pernyataan tiba-tibanya, dia hanya tersenyum malu. Pipinya seolah dicat dengan warna merah muda dan menggunakan dokumennya untuk menyembunyikannya. Dia melirik diam-diam untuk melihat reaksiku, tetapi akhirnya merasa keheningan ini jadi tak tertahankan, dia pun mundur perlahan. Sebelum Aku sempat menjawab, dia telah bergegas pergi.

Hei, kau bercanda kan? Dia menyusahkan sekali. Apa yang harus kulakukan jika dia melarikan diri seperti itu? Apa maunya? Atau apa, Aku harus memberitahunya dengan resmi mengenai perasaanku lain kali? Itu terlalu sulit, sungguh. Astaga, dia sangat merepotkan.
--Tapi bagian super merepotkan darinya itulah yang membuatnya jadi sangat super imut.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar